Cerpen Triangle love


Triangle love

            “Menurut lo Lana itu gimana?” tanya Prita suatu hari. Alena berpikir.
            “Gimana sih, ya? Mmm, orangnya baik, terus lucu, setia kawan, tegas, yahh gitu deh pokoknya.” Jawab Alena. Prita kembali menerawang. Semburat wajah Lana kembali muncul di pelupuk matanya.
            “Dia itu cakep, ya?” kata Prita tiba-tiba. Alena mengalihkan pandangannya. “Yah, lumayan. Kenapa? Lo suka, yaa?” tebak Alena. Wajah Prita langsung merah karena malu.
            “Emang kelihatan banget, yaa?” tanya Prita. “Kenalin gue sama dia, dong. Lo udah kenal, kan?” pinta Prita.
            “Boleh, kapan?” tanya Alena.
            “Nanti pulang sekolah.” Jawab Prita bersemangat.
            “Oke.”
            Prita dan Alena adalah sahabat karib sejak kecil. Dari TK sampai SD mereka bareng terus. Tapi di SMP mereka menempuh jalan masing-masing. Dan sekarang di SMA mereka dipertemukan kembali. Banyak teman se-SMP Alena yang sekolah disana. Salah satunya Lana. Lana dulu sempat satu kelas sama Alena di kelas VIII dan IX jadi mereka sudah akrab seperti saudara. Apalagi setiap UTS/UAS/UN mereka kalo nggak duduk bersebelahan yaa pasti satu ruang. So, Alena tahu persis sifat Lana.
            “Len, pulang bareng, yuuk!” ajak Lana.
            “Sorry, Na. Gue udah sama temen.” Tolak Alena.
            “Oh, gitu sekarang. Udah ada temen baru yang lama dilupain.” Ujar Lana pura-pura marah.
            “Apaan sih. Dia itu temen lama tahu, seharusnya lo yang dibilang baru.” Jawab Alena kesal.
            “Iya, iya gitu aja ngambek.” Lana mengacak-acak rambut Alena. Prita menyenggol lengan Alena sambil mengedipkan matanya penuh arti.
            “Oh ya, Lana kenalin ini Prita temen gue sejak k-e-c-i-l. Prita ini Lana temen gue sejak S-M-P.” Alena memberi tekanan pada kata kecil dan SMP.
            “Biasa aja,dong.” Ujar Lana merasa tersindir sambil tersenyum. Lana dan Prita bersalaman.
            “Prita.”
            “Lana. Kelana.”
            “Ya udah bareng aja.” Tawar Lana sekali lagi.
            “Bukannya lo naik motor?” tanya Alena.
            “Nggak, kok. Gue naik mobil.”
            “Ciyee, mobil baru.”
            “Nggak, kok mobil bokap. Gimana?” Alena dan Prita berpandangan. Mata Prita berbinar-binar. ”oke.”
            “Salah satu di depan, ya.gue nggak mau jadi sopir tahu.” Kata Lana sambil masuk ke dalam kemudi. Alena meminta Prita yang di depan. Ketika Lana bertanya kenapa, Alena menjawab agar mereka lebih akrab. Mereka kan sama-sama temen Alena, masa nggak saling kenal.
            “Mora.” Alena melihat kura-kura kesayangan Lana di atas jok belakang di dalam aquarium. “Jangan diobok-obok.” Ujar Lana pura-pura marah.” Siapa yang ngobok-obok gue Cuma mau megang Mora doang, kok.”
            “Alesan!” Alena manyun. Suasana hening tak ada yang mau memulai pembicaraan. ”Jadi gue nganter siapa dulu, nih?” Lana membuka pembicaraan. Tak ada yang menjawab. Alena sibuk dengan Mora. Prita masih mengatur degup jantungnya.
            “Len?”
            “Apa, sih? Cerewet!”
            “Yeee. Gimana sih?!”
            “Eee, aku, aku sama Lana searah, kok. Kita satu komplek dan tetanggaan.” Prita menjawab dengan sedikit gemetar karena gugup.
            “Oh gitu?”
            “Iya, jadi aku sama Lana itu udah temenan sejak kecil dari TK,SD kita bareng terus, tapi pas SMP nggak, terus SMA bareng lagi.” Prita dan Lana mulai asyik bercakap-cakap.
            “Aww!” jari Alena terkena tepi kaca aquarium Mora hingga berdarah.
            “Lo nggak papa? Berdarah, tuh?” tanya Lana khawatir.
            “Nggak papa, kok. Cuma berdarah dikit.” Jawab Alena. Alena nggak suka kalau terlalu di khawatirin seperti itu.
            “Eee, aku ada plester.” Ujar Prita lalu mengeluarkan plester dari tasnya dan merekatkannya di jari Alena yang sudah dibersihkan.
            “Lana stop! Lo lupa rumah gue atau gimana?!” Alena mengingatkan. Lana mengrem mendadak. Alena turun. Prita juga ikut turun.
            “Sorry. Rumah Prita yang mana?” tanya Lana.
            “eh. Itu disebelah rumah Alena persis.” Jawab prita sambil menunjuk rumah bercat orange. Lana manggut-manggut sambil memperhatikan rumah Prita. Lana melambai yang dibalas  Alena dan Prita. Mobil kembali melaju menembus jalan yang lengang.
            “ Alena thanks, yaa.” Prita memeluk Alena erat. Berkat Alena, Prita dan Lana jadi saling kenal, bahkan bisa bercakap-cakap akrab. Suatu kemaajuan dalam misi pe-de-ka-te kali ini.
            Alena, Prita, dan Lana semakin akrab. Prita sudah bisa mengatur perasaannya agar degup jantungnya tidak terlalu keras bila di dekat Lana. Tapi tetap saja muka Prita masih sering merah kalo digoda Lana atau bercanda bareng Lana. Di kelas XI Alena dan Prita tidak sekelas, tapi masih satu jurusan. Alena di kelas XIIPA1, sedangkan Prita di kelas XIIPA2. Lana di kelas XI FDS IPA1. Alena mulai merasa ada yang salah dengan dirinya.
            Liburan kemarin Alena tidak kemana-mana, diam di rumah. Prita ke Bandung ke rumah saudaranya. Alena memang diajak, tapi dia menolak. Sedangkan Lana, dia dikirim orangtuanya ke Tokyo untuk belajar bahasa Jepang sekaligus melakukan penelitian yang diberikan oleh gurunya. Alena kesepian, entah mengapa? Tiba-tiba ia kangen sama Lana. Kangen sama candanya, kangen sama tingkahnya yang suka ngacak-ngacak rambut Alena, kangen sama senyum dan tawanya, kangen sam semuanyalah.
            Untuk mengatasi kesepian itu Alena mencoba menghabiskan waktu dengan beres-beres kamar yang sudah lama banget tidak dia beresi. Ketika memberesi lemari bukunya, Alena menemukan sebuah kotak. Ketika dibuka ternyata isinya adalah album kenangan. Ada 3 album, yang pertama waktu Alena dan Prita belum sekolah dan waktu TK. Fotonya benar-benar hanya mereka berdua. Yang kedua, waktu SD isinya sama hanya Alena dan Prita. Album yang ketiga semasa SMP. Isinya penuh dengan Alena dan Lana. Walaupun ada foto orang lain, pasti di situ ada foto Alena dan Lana.
            Alena membuka setiap halaman foto dan mengingat setiap kejadian itu. Tiba-tiba Alena sampai di sebuah foto dimana saat itu Lana megecup pipi Alena. Sebenarnya kejadiannya bukan seperti itu. Waktu itu kelas VIII ada acara classmeeting. Saat bersih-bersih, Lana dan Alena berfoto bersama. Mereka berpose sedemikian rupa, tapi pas di hitungan ketiga Lana mengecup pipinya. Jadi yang terfoto pas itu. Alena sempet marah sama Lana untuk beberapa hari. Lana sampai minta maaf berkali-kali, tapi Alena pura-pura belum memaafkan, padahal sudah dari dulu. Itu agar Lana jera. Sekaligus coklat gratis. Soalnya Lana pasti bawa coklat kalo minta maaf. Kan, lumayan. Alena tersenyum sendiri mengingat hal itu.
            Kemudian foto saat pelepasan kelas IX dimana Lana dan Alena menjadi pembawa acara. Alena menggunakan B. Inggris sedangkan Lana terjemahannya dalam B. Indonesia. Tiba-tiba Alena teringat usaha mendekatkan Lana dan Prita hampir berhasil tinggal menunggu Lana mengungkapkan perasaannya pada Prita.
            Liburan berakhir sekolah kembali berlanjut. Hari pertama hanya diisi dengan bersih-bersih kelas dan menghias kelas, setelah itu pulang. Waktu pulang sekolah Lana menemui Prita dan Alena di depan sekolah.
            “Hai!” Sapa Lana.
            “Hai! Yang baru pulang dari Jepang, oleh-olehnya mana?” canda Alena.
            “Apaan, sih? Biasa aja lagi.”
            “Lho, kok ngomongnya masih Bahasa Indonesia? Katanya baru belajar bahasa Jepang?” canda Prita.
            “Nggak lucu tahu!” Lana pura-pura marah. Alena dan Prita tertawa.
            “O ya, ini oleh-oleh buat kalian. Bingung gue milihnya.. kalian cewek, sih. Kan gue nggak tahu cewek sukanya apaan?” Lana memberikan masing-masing satu bingkisan pada Alena dan Prita.
            “ Bingung apa bingung? Kalo buat pacar lo nggak bingung, kalo buat kita bingung. Kan sama-sama cewek, apa bedanya?” Alena menyindir.
            “Ya beda dong, Len. Kan lebih disayang.” Tambah Prita. Prita dan Alena tertawa.
            “Len, lo tahu kan, gue nggak punya pacar. Berhenti, deh bercandanya. Nggak capek apa ngeledekin gue mulu?!” Ada yang senang mendengar perkataan Lana tadi, Prita. Walaupun sudah tahu dari Alena kalau Lana masih sendiri, tapi bda kalau dengar dari Lana sendiri. Lebih meyakinkan. Cakep-cakep masa nggak punya pacar sih? Tapi ya nggak papa, sih. Berarti aku masih punya kesempatan pikir Prita.
            “Kenapa lo senyum-senyum sendiri?” tanya Lana pada Prita. Prita kaget.
            “Eh, ng-nggak, nggak papa.” Prita tersenyum
            “Thanks, ya.” Kata Alena dan Prita bebarengan. Lana mengangguk.
            Hari-hari berjalan lancar. Tapi hari ini Lana tidak kelihatan. “Lana mana, ya? Kok dari kemarin nggak kelihatan, sih?” tanya Prita.
            “Di kelas kali. Kan dia FDS.” Jawab Alena enteng sambil menggigit coklatnya.
            “Iya, tapi biasanya kan dia nemuin kita dulu kalo udah jadwalnya pulang.” Tambah Prita. Alena membenarkan ucapan Prita.
            “Bagaiman kalo kita ke rumah Lana aja?” usul Prita.
            “Ngapain?”
            “Ya, siapa tahu aja dia sakit.”
            “Ya kalau dia di rumah, kalau nyatanya di kelas?”
            “Ya udah kita tanya teman sekelasnya aja.”
            Ternyata emang benar kalau Lana tidak masuk karena sakit. Feeling orang jatuh cinta memang kuat. Kemarin dia juga tidak ikut FDS karena sakit. Akhirnya Alena dan Prita ke rumah Lana setelah pulang dulu ke rumah ganti baju. Di rumah Lana mereka bertemu mamanya Lana. Beliau bilang Lana sudah demam sejak kemarin, badannya panas tinggi. Mereka melihat Lana yang terbaring tak berdaya di kamarnya. Badannya berkeringat. Prita kemudian mengganti kain kompres Lana.  Mama Lana bilang kalau Lana belum makan sejak pagi. Kemudian Alena membantu mamanya Lana membuat bubur untuk Lana. Sementara Prita menemani Lana sambil sesekali mengganti kompres Lana yang sudah panas.
            “Alena.” Tiba-tiba Lana mencengkeram lengan Prita sambil memanggil Alena. Prita terkejut. Lana belum sadar, tapi dia dengan jelas menyebut Alena. Perasaan Prita kacau, nafasnya memburu.
            “Alena.” Lana memanggil Alena lagi, tapi tangannya masih mencengkeram tangan Prita. “Apa lo nggak tahu perasaan gue?” Lana mengucapkan kata-kata itu dengan lemah, tapi terdengar sangat jelas di telinga Prita. “Apa lo tahu kalau gue sayang sama lo?” Air mata Prita mulai menetes, badannya bergetar, cengkeraman Lana mulai melonggar dan Lana kembali tertidur. Tangis Prita mulai menjadi, tapi suaranya tidak keluar. Duduk bersandar pada tempat tidur Lana. Dia menangkupkan wajahnya. Hatinya benar-benar hancur. Dia tidak tahu harus bagaimana. Yang ada dalam pikirannya, dia harus segera pergi dari tempat itu.
            Ketika Alena kembali kekamar Lana, dia tidak menemukan Prita disana, hanya ada Lana yang masih terlelap. Kain kompres Lana juga terjatuh di lantai. Alena mencari Prita kemana, tapi nihil. Kemudian Alena mohon diri pada mamanya Lana. Dalam pikirannya, dia akan pura-pura marah karena telah meninggalkannya di rumah Lana. Tapi ketika ia sampai di rumah Prita, mamanya Prita bilang kalau Prita sudah tidur. Alena merasa ada yang tidak beres.
            Keesokan harinya Prita berangkat sekolah lebih dulu tanpa menunggu Alena, dan sikap Prita sangat dingin padanya. Alena bingung. Hari ini Lana sudah berangkat sekolah,meski masih lemah. Saat pulang sekolah Prita pulang lebih dulu tanpa menunggu Alena. Tapi Alena berhasil menjajari langkah Prita di depan gerbang.
            “Lo itu kenapa sih, Ta?” tanya Alena to the point. Prita hanya menatap Alena dingin, kemudian air matanya mulai mengalir. “Lo pasti tahu! Nggak usah sok suci! Gue udah tahu semuanya. Selama ini lo bilang lo mau deketin gue sama Lana, tapi itu semua cuma alasan biar lo bisa deket sama Lana! Iya kan?!” Prita menghapus air matanya, lalu berlari pulang. Alena terpaku di tempat. Tanpa disadari, air matanya mulai mengalir. Lana memperhatikan kejadian itu dari dekat gerbang.
            “Ta, lo harus dengerin penjelasan gue.” Alena mencoba membuka pintu kamar Prita, tapi gagal. Prita sudah mengunci pintunya. Alena menangis sambil bersandar di pintu. ”Prita, kamu salah paham.”
            “Salah paham apa?! Gue denger sendiri dari mulut Lana, kalau dia suka sama lo.” Tegas Prita. Alena bagai disambar petir mendengar keterangan Prita. Dia terpaku untuk beberapa saat. Prita menceritakan kejadian kemarin dengan emosi yang meluap-luap. Alena terdiam sesaat. “Lo pasti salah denger.” Kata Alena lemah.
            “Nggak mungkin! Aku denger dengan sangat jelas ‘Alena’ berkali-kali.” Alena terjatuh dan bersandar di pintu.
            “Tapi itu nggak mungkin, gue kan deketin Lana sama lo, bukan sama gue.” Tegas Alena.
            “itu cuma alasan doang, gue tahu akal busuk lo!” sekarang mereka hanya menangis bersama dengan batas pintu. “gue minta lo pergi! Jangan temui gue lagi! Gue nggak mau liat muka lo lagi!”
            “Prita.”
            “Pergi!”
            “Prita, please maafin gue”
            “Pergi!” akhirnya Alena berlari kekamarnya.
            Esok harinya, baik Prita maupun Alena tidak berangkat sekolah. Lana merasa ada yang tidak beres. Akhirnya Lana meminta izin pulang lebih awal dari jadwal FDS-nya dengan alasan masih agak sakit. Pulang sekolah, Lana langsung ke rumah aena lebih dulu sebelum ke rumah Prita. Tapi Alena sama sekali tidak mau menemuinya. Dia bilang tidak mau bertemu siapa-siapa dan tidak mau diganggu. Sementara Prita, dia memang mau menemuinya, tapi sikapnya dingin. Matanya juga bengkak, seperti baru menangis semalaman. Suasana jadi terasa canggung. Prita diam membisu tanpa senyumannya.
            “Ee.. ehem.. Ta, lo kenapa nggak berangkat?
            “Nggak papa, cuma agak nggak enak badan aja.” Jawab Prita singkat dan datar.
            “oh.” Hening. “Kalo Alena?” Prita diam. Tidak ada jawaban. Hening lagi. Lana jadi salah tingkah.
            “Nggak tahu.” Singkat, padat, dan jelas. Prita berkali-kali mendongak mencegah agar air matanya tidak jatuh. Lana kehabisan kata-kata. Sebenarnya dia tidak betah dalam keadaan seperti itu.
            “Kalian berdua lagi ada masalah ya? Kemarin gue liat kalian berantem di depan gerbang.” Lana sampai pada inti. Meski dia tahu penyebabnya, tapi dia butuh kejelasan. Prita tidak dapat membendung air matanya lagi. Lana tahu jika selama ini Prita menaruh hati padanya. Tapi dia tidak bisa membalasnya. Karena dia sudah suka sama Alena sejak MOS di SMP dulu. Yang Lana nggak habis pikir, kenapa Alena tidak bisa menangkap sinyal-sinyal cintanya. Malah dia mencoba mendekatkan dirinya dengan Prita, dengan meninggalkan mereka berdua di perpus, di kantin, di mall, dan dimanapun. Atau membiarkan Prita duduk di depan jika pulang bareng. Lana bingung, dia ingin mengungkapkan perasaannya pada Alena, tapi bagaimana dengan Prita? Lana tahu cinta Prita tulus dari hatinya.
            “Lana.”
            “Ya.” Lana menatap mata Prita. Prita balas menatap.
            “Apa lo tahu kalau gue sayang sama lo?”
            “Ya, aku tahu.”
            “Apa lo tahu, kalau Alena mencoba mendekatkan kita berdua?”
            “Aku tahu.” Lana menunduk.
            “Apa perasaan lo pada Alena tida bisa berubah?” Lana diam.
            “Tidak bisakah kau berikan hatimu untukku?” Lana diam.
            “Yang sayang sama lo itu gue, bukan Alena. Kenapa lo tetap sayang sama Alena?” Lana diam. Prita menangis sesenggukkan.
            Suasana kembali hening. Lana membiarkan Prita menangis. “Prita.” Prita tidak menyahut. “ini semua salah gue. Salah gue karena nggak ngungkapin perasaan gue sejak dulu. Gue suka sama Alena sejak MOS kelas 7. Gue nggak tahu kalau hal seperti ini akan terjadi. Gue nggak tahu bagaimana harus mengungkapkan semua. Sekarang semua sudah terlambat. Gue nggak mau nyakitin kalian berdua. Biar perasaan ini gue pendam sendiri. Mungkin akan lebih baik kalau kita semua bersahabat.” Lana mendongak. Air mata Prita sudah berhenti, tinggal sedu sedan.
            Lana tersenyum. “Udah deh, nggak usah nangis terus. Nggak asyik tahu sedih-sedihan kayak gini.” Prita tersenyum. Lana menjulurkan kelingkingnya. Prita tertawa kemudian menyambut kelingking Lana. Lalu, satu kelingking lagi ikut menyambut.
            “Alena!” Prita segera memeluk Alena. “Maafin gue, maaf karena kemarin gue ngusir lo, maaf karena gue udah bentak-bentak lo, maaf karena gue udah bilang kalo gue nggak mau liat muka lo lagi. Padahal gue mau banget liat muka lo tiap hari. Sungguh.” Alena tertawa dalam tangisnya. Prita melepas pelukannya, lalu memeluk Alena lagi.
            “Lo udah dari tadi dengerinnya?” tanya Lana. Alena mengangguk. “Dari awal,aku ada di balik pintu.” Jelas Alena.
            Hari demi hari berjalan dalam kesenangan. Hingga akhirnya mereka naik ke kelas tiga. Lana semakin sibuk dengan kelas FDS-nya. Prita dan Alena sibuk dengan persiapan ujian. Mereka bertiga sering belajar bersama, bergantian di tiap-tiap rumah. Mereka juga sering menginap gara-gara ketiduran setelah belajar. Dan setelah masa-masa ujian itu berakhir, mereka tinggal menunggu hasil ujian. Mereka sering memanfaatkan kesempatan ini untuk berlibur. Seperti hari ini. Mereka juga tidak lupa mendokumentasikan setiap moment yang ada.
            ‘Al, gue boleh nanya nggak sama lo? Tapi lo jawab jujur ya.” Tanya Lana. Prita sedang asyik main air di danau dengan adiknya Lana.
            “Nanya apaan?” tanya Alena balik.
            “Tapi lo jawab jujur ya.” Lana memastikan Alena mengangguk. “lo dulu pernah suka sama gue nggak?” Alena bingung.
            “Mmm..” Alena mengangguk.
            “Kapan?” tanya Lana lagi.
            “Kels delapan sampai...” Lana menanti. “Sekarang.” Alena menatap Lana. Lana tertegun.
            “Nggak adil.” Lana mencoba melucu.
            “Kenapa?” tanya Alena.
            “Gue suka sama lo sejak kelas 7sampai sekarang, tapi lo Cuma dari kelas 8 sampai sekarang nggak adil dong.’ Protes Lana.
            “Ya mau bagaimana lagi.”
            “pasti setelah gue cium ya?”
            “ye.. PD”
            “benerkan? Buktinya muka lo merah.” Ledek lana.
            “Apaan sih?”
“kalu begitu kenapa ngga jadian aja?” tiba-tia Prita datang.
            “Prita.” Alena kaget. Dia nggak mau mereka bertengkar lagi. “Iya, kenapa nggak jadian aja?” Alena dan Lana diam. Mereka nggak mau kejadian tahun lalu terulang lagi. “tapi ada syaratnya.”Prita tersenyum penuh arti. “Rasya buat gue.’ Prita nyengir.
            ‘Dasar!” Alena ingin mengejar Prita yang sudah berlari, tapi Lana menahan. Alena jadi deg-degkan
            “Jadi, gimana?”
            “gimana apanya?” tanya Alena. Padahal dia sudah tahu.
            “Prita sudah memberi restu, jadi, would you be my girlfriend?” tanya Lana langsung. Alena melongo. Alena mengangguk. Alena dan Lana tersenyum. Lana hendak memeluk Alena. Tapi Alena sudah menunduk dan berlari ke arah Prita dan adiknya Lana.

The End

Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh surat reservasi hotel

contoh surat undangan rapat

Analisis Strategi PT Agung Podomoro Land Tbk