cerpen cause i love you


‘cause i love you

            Pagi ini akan sama seperti biasanya, aku dijemput oleh Dika, dia kakak kelasku sekaligus jadi teman dekatku. Aku suka sama dia sejak pertama masuk sekolah. Waktu aku MOS dia jadi salah satu pemimbingnya. Dia orangnya pintar dengan wajah lumayan, dan yang pasti banyak yang suka sama dia. Tapi aku nggak tahu apa yang buat dia memilih aku untuk jadi teman dekatnya. Dia seorang yang multi talenta, sedangkan aku? Aku bukanlah siapa-siapa, tampang pas-pasan, otak pas-pasan, nggak ada hal yang istimewa yang menurutku bisa membuat Dika suka sama aku.
            Aku keluar setelah berpamitan dengan kakak perempuanku. Aku tersenyum setelah melihat Dika di depan telah siap dengan motornya. Dika melajukan motornya dengan cepat begitu aku naik. Jadi teman Dika itu harus sabar. Dia punya banyak peraturan, misalnya jika sampai di sekolah, aku harus menunggu Dika memarkir motor dan membiarkan Dika mengantarku sampai di kelas. Waktu istirahat, aku harus menunggu Dika sampai di kelasku, setelah itu terserah Dika mau istirahat dimana.
            Tapi siang ini berbeda. Dika tak kunjung muncul, padahal waktu istirahat sudah hampir habis, dan aku sudah lapar banget.
            “Ai, kau masih di kelas? Kak Dika mana?” tanya Rere teman sebangku ku.
            “Nggak tahu nih, dari tadi Kak Dika nggak dateng-dateng, padahal aku dah laper banget.” Jawabku.
            “Ya udah, ke kantin bareng aku aja, nanti kalo Kak Dika marah,aku ikut bantuin deh.” Ajak Rere. Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
            Ketika aku sedang enak-enaknya menikmati gado-gado kesukaanku, tiba-tiba Dika datang dan langsung memukul meja membuatku tersedak. Aku langsung meminum teh botol yang juga aku pesan.
            “KAMU ITU GIMANA, SIH?! SEHARUSNYA KAMU NUNGGU AKU DI KELAS KAMU!! Tapi kamu malah enak-enakan makan! Sementara aku nyari-nyari kamu!” kata Dika kasar. Aku hanya bisa menunduk.
            “Maaf, tapi aku tadi udah nunggu kamu, tapi kamu nggak dateng-dateng makannya aku ke kantin dulu, soalnya aku udah laper banget.” Ujarku menjelaskan.
            “PALING BARU LIMA MENIT!! Tadi aku ulangan jadi keluarnya nggak seperti biasa. Cuma disuruh nunggu sebentar lagi aja nggak mau!! Gimana kalau aku pergi ke luar kota?! Langsung dapet cowok baru!!” kata Dika masih dengan penuh emosi.
            Aku hanya bisa menunduk. Aku ingin menangis, tapi tidak di depan Dika. Menurutku itu terlihat sangat cengeng. Aku mencoba membendung air mataku diantara teriakan Dika. Anak-anak sekantin sekarang menatap ke arah kami.
            “Kak, Ai tadi memang udah nunggu kakak. Tapi aku kasihan sama dia. Dia udah kelaperan, makannya aku ajak ke kantin.” Jelas Rere.
            “Tapi dia mau, kan?!!”
            “Iya, tapi...”
            “ALAHH UDAH DEH!!” Dika pergi.
            “KAK! KAK DIKA!!” Panggilku. Air mataku tak bisa dibendung lagi. Dika memang seperti itu. Tapi yang membuatku heran, aku nggak bisa pisah sama Dika. Dan sejauh ini, Dika juga belum pernah mutusin aku. Tapi jika emosinya meledak, seolah aku ini bukan siapa-siapa. Semua yang ku lakukan nggak pernah benar di depannya. Apapun yang ku lakukan selalu salah.
            Pulang sekolah, aku tetap duduk di kursi, bukan untuk menunggu Dika seperti biasanya, tapi aku sedang merenungi antara aku dan Dika. Aku bingung, aku harus senang  punya Dika yang populer, cakep, pintar, dan perhatian atau sedih karena sifat Dika yang temperamental. Rere sudah keluar sejak jam terakhir. Dia itu aktif di organisasi sekolah, jadi jadwalnya nggak jelas. Tanpa ku sadari air mataku mengalir.aku membenamkan kepalaku di balik tangan. Aku tidak tahu mengapa air mataku terus keluar. Aku tidak bisa menghentikannya. Di hatiku seolah ada bagian yang perih karena tersayat.
            “Ai.” Aku mendengar suara Dika. Aku harus menghapus air mataku. Dika sudah di depan pintu. Dika menghampiriku yang masih terduduk sambil mengatur air mukaku.
            “Ai? Kau menangis? Kenapa? Apa yang membuatmu bersedih hingga menangis seperti ini?” tanyanya cemas. Aku kadang kesal, dia itu nggak punya rasa bersalah. Tapi amarahnya cepat turun. Jika dia marah Cuma sebentar.
            “Aku nggak papa kok, kak. Aku Cuma takut ulangan kimiaku jeblok, soalnya aku belum belajar.” Ujarku berbohong. Aku mencoba tersenyum meyakinkan. Tapi Dika tidak bisa dibohongi, dia tahu kalau aku mengatakan hal lain.
            “Bohong! kamu bohong! Ai kamu tahu kan kalau aku nggak suka dibohongi.” Tukasnya. Aku kembali menunduk. Apa kami harus bertengkar lagi?
            “Apa ini semua karena sikapku tadi siang?” tanyanya. Nada suaranya merendah. “Aku minta maaf, karena aku sudah kasar sama kamu. Tapi aku nggak bermaksud begitu.” Ujarnya.
            “Aku ngerti, aku yang salah. Seharusnya aku tetap nunggu kamu. Bukannya ngebiarin kamu nyari-nyari aku sementara aku enak-enakan makan.” Jawabku sambil menunduk.
            “ya udahlah nggak usah menyalahkan diri sendiri.pulang, yuk!” aku mengangguk. Ini yang membuatku kagum. Dia itu dewasa. Dia mau menyelesaikan masalah, bukannya lari dari masalah.
            Suatu hari kecerobohanku membuatku terjatuh di tangga. Kakiku terkilir dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Kebetulan Raka yang bertugas piket di UKS, jadi dia yang mengantarku ke rumah sakit. Raka itu orangnya baik. Dia itu juga kakak kelasku. Orangnya lembut dan tegas. Ternyata tulang keringku retak dan harus di gips, tapi lukaku tidak berdarah. Raka mambawaku kembali ke sekolah dan membantuku berjalan ke kelas. Sekarang sudah jam terakhir, jadi aku hanya perlu mengikuti pelajaran beberapa menit, dan setelah itu bisa pulang.
            Ketika aku sedang bersusah payah jalan dibantu oleh Raka, Dika datang dan langsung marah-marah.
            “KAMU ITU NGGAK TAHU MALU, YA?!! Apa yang kamu lakukan?! Mesra-mesraan sama cowok lain di depan umum! Sementara kamu udah punya cowok!!” kata Dika marah. Mukanya merah karena amarah.
            “kamu ngomong apa sih?! Siapa yang mesra-mesraan?! Kalo yang kamu maksud Raka, kamu salah. Raka itu cuma bantuin aku jalan. Karena kakiku terkilir” kataku.
            “Tapi nggak perlu cari kesempatan juga!! Keterlaluan!!” Dika pergi. Aku mencoba mengejarnya, tapi kakiku menghambatnya. Aku terjatuh saat mencoba berjalan, Raka membantuku berdiri.
            Sepertinya kemarahan Dika saat ini benar-benar mencapai puncak. Dia tidak menghampiriku ke kelas waktu aku pulang. Akhirnya aku diantar Raka. Dia juga nggak jemput aku keesokan harinya. Dan seterusnya berhari-hari. Dia tidak menunjukkan batang hidungnya. Aku jadi bingung dengan status hubunganku. Kami belum putus, tapi kami sama sekali tidak saling komunikasi. Ponsel Dika nggak aktif, dan e-mailku tidak dibalas. Aku jadi takut kehilangan Dika. Ada perasaan bersalah yang menyelimuti hatiku.
            Siang ini aku dipanggil guru BP. Aku belum pernah ke ruang BP selama ini. Ternyata aku hanya ditanyai mengenai teman lamaku yang bermasalah. Tapi hubungan kami sudah renggang. Dia sudah bolos sekolah sebulan. Dan anak-anak sekelasnya mengatakan aku yang rumahnya dekat. Tapi aku tidak tahu apa-apa soal dia. Akhirnya dengan mengemban amanat untuk kerumah Mia, anak itu, dan mencari keberadaannya, aku kelluar dari ruang BP. Aku menuju loker siswa untuk mengambil bukuku yang ku tinggal.
            Ketika aku melewati loker kelas XI aku melihat Dika dengan seorang cewek. Berpelukan erat dan bercakap-cakap akrab. Indy, cewek itu ku kenal. Dia kapten cheers. Kakiku beku dan mataku panas. Air bening mengalir deras dari kedua bola mataku. Ada  rongga yang menganga di hatiku. Aku ingin berlari dari situ, tapi kakiku tidak bisa di gerakkan. Aku sebal dan merasa bodoh dengan ragaku. Aku ingin cepat-cepat menghilang dari situ. Dika dan Indy melepas pelukannya, mereka bercakap-cakap sambil tertawa.
            “Ai, kau kenapa? Kok nangis di situ?” aku terlonjak kaget. Ternyata Rere. Aku menghapus air mataku. Dika dan Indy menengok. Aku berhasil menggerakkan kakiku. Aku mencoba berlari sekuat tenaga menahan nyeri di kakiku yang belum sembuh total. Baru berlari beberapa meter, Dika sudah meraih lenganku dan mencekal kuat-kuat. Air mataku tak bisa ku bendung.
            “Ai, kamu salah paham. Ini nggak seperti yang kamu lihat. Sungguh! Aku bisa jelasin semua.” Ujar Dika. Tapi aku nggak mau dengar apa-apa, aku Cuma mau sendiri. Aku nggak mau mendengar penjelasan apa-apa. Aku meronta sekuat tenaga, tapi gagal. Cekalan Dika terlalu kuat, dan aku tidak punya tenaga. Aku menyerah, tapi aku tetap menunduk. Aku nggak berani menatap wajah Dika. Ada yang aneh di hatiku. Sesuatu yang bukan sakit, tapi pedih dan takut, tak bisa diungkapkan.
            “Dengar, aku dan Indy nggak ada apa-apa. Tadi dia Cuma mengucapkan selamat atas kemenangan tim basketku kemarin.” Ucapnya.
            “Dengan pelukan?” tandasku.
            “ya,ya itu hanya pelukan persahabatan. Kau harus percaya padaku. Kau harus janji, untuk percaya bahwa aku dan Indy hanya teman, nggak lebih.”
            “Kenapa aku harus berjanji?” tanyaku mencari alasan. Dika bingung, dia berpikir keras. ”Kemarin kau tidak mau mendengar penjelasanku, kenapa aku harus mendengar penjelasanmu? Kau sudah tidak bicara lagi padaku selama lima hari, dan sekarang aku harus percaya dan berjanji padamu kalau kau dan Indy nggak ada hubungan apa-apa. Kau tidak mengaktifkan ponselmu, tidak membalas e-mailku. Aku tidak melihatmu lima hari, dan sekarang aku melihatmu berpelukan dengan cewek lain. Aku bukan boneka yang bisa kau atur-atur seenaknya.” Akhirnya keluar semua yang mengganjal hatiku. Aku lega. Aku masih menunduk. Dika memandangku lekti-lekat.
            “Kau cemburu?” tanyanya kemudian.
            “Ya!ya! aku cemburu. Aku cemburu melihatmu pelukan dengan Indy.” Ku akui itu benar. Aku tahu aku tidak bisa bohong di depan Dika.
            “Aku juga. Aku cemburu melihatmu dekat dengan Raka. Aku nggak suka melihatmu dekat dengan cowok lain. Karena aku takut kehilangan kamu. Aku takut kamu berpaling dariku.” Kata-katanya meluncur begitu cepat. Aku tidak tahu harus mengucapkan apa. Akhirnya aku diam.
            “Cemburu itu tanda cinta. Berarti kamu cinta sama kamu, dan aku sudah pasti cinta sama kamu. Aku sayang kamu, Ai. Aku sayang kamu Aily. Aku nggak mau kehilangan kamu.” Ujarnya. Aku masih menunduk. Dika mengangkat wajahku. Aku mencoba berpaling tapi Dika tetap mengarahkan wajahnya padaku. Aku melihat ketulusan di mata Dika. Dika menghapus air mataku.
            “kamu tatap mataku. Kamu bisa lihat kalau aku bilang yang sejujurnya. Aku nggak bohong. Maaf kalau selama ini kalau aku terlalu keras padamu. Kau percaya padaku, kan?” tanyanya.
            Aku bingung. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tanpa ku sadari, aku mengangguk, dan Dika langsung memelukku.” I love you Ai.”

The end

Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh surat reservasi hotel

contoh surat undangan rapat

Analisis Strategi PT Agung Podomoro Land Tbk